Selasa, 10 Februari 2015

Apa Kabar Hujan ?

Apa kabar hujan? Ah, ini pertama kalinya setelah setahun kau menghilang. Aku rindu padamu. Sebagaimana rinduku pada seseorang yang bersembunyi dibalik jarak. Masih ingatkah kau hujan? Saat engkau kujadikan saksi pertemuanku dengannya 3 tahun yang lalu. Rasanya mustahil semua itu terulang. Sudahlah. Sudah ku tutup lembaran romansa itu.

Kedatanganmu saat ini tepat sekali, Hujan. Mari temani aku. Aku sedang ingin flash back romansa kita 3 tahun yang lalu. Ingatkah, saat pangeran yang mati-matian memaksaku menemuinya ditengah-tengah rinaimu? Kebodohan yang sangat parah menurutku. Bagaimana bisa ada seorang yang sebegitunya hendak mengajakku bertemu, padahal ia tahu aku begini. Aku yang tak sempurna.

Entahlah, Hujan. Mungkin kamupun menertawaiku saat itu. Seorang gadis yang penuh kekurangan sedang melukis senyum ditengah kegaduhanmu bersama pangeran yang baru ditemuinya pertama kali. Konyol sepertinya, namun cinta yang mulai menuyusup dibalik kesejukan rintikmu, mampu membius kekonyolan itu.

Tak banyak yang bisa kuceritakan lagi tentangnya. Kebaikannya, perhatiannya, aku merasakan keistimewaan tersendiri saat bersamanya. Meski harus terus berdamai dengan jarak yang berkilo-kilo meter, cinta yang terukir dibawah kesaksianmu tak pernah terkikis. Terus menerus membelenggu, mengikat hati kami berdua. Akupun tak pernah letih mencintainya, sebagaimana aku tak pernah letih menunggu kedatanganmu meski hanya setahun sekali.

Kalau kupikir-pikir, dia sama sepertimu Hujan. Datangnya lama, tapi perginya cepat. Menjalani hubungan seperti ini tak semudah yang kebanyakan orang lain kira. Menjalani hubungan seperti ini sama layaknya kamu harus sabar mengumpulkan kristal-kristal air menjadi awan, lalu menjadi gumpalan awan, dan masih harus bersabar lagi menunggu kawan-kawanmu seperti mendung, petir, dan pelangi hingga akhirnya kau bisa tersenyum lepas menyentuh bumi. Akupun begitu, menghabiskan hari dengan celengan rindu yang semakin penuh. Bersabar menanti tiba waktu yang tepat tuk bersua. Kadang hanya berteman engkau dan kilau pelangi.

Kadang pesan singkat darinya sedikit mengurangi kerinduanku. Dia berkata bahwa kita berada jauh, namun kita tetap dapat menikmati riak hujan dalam keteduhan yang sama. Menatap kilau pelangi pada lapisan langit yang sama. Akupun tersenyum larut dalam pesan konyolnya itu. Aku tau, sedetikpun cintanya tak pernah berkurang kepadaku. Kesetiaan dan kekuatannya melawan jarak yang semakin menantang membuatku juga semakin bertahan disini. Membuatku merasa ingin terus membujuk sang waktu untuk berputar berpuluh-puluh kali lebih cepat agar cepat bertemu dengannya. Tak jarang rintikmu juga diikuti oleh rintik kecil disudut mataku. Menangis, mengiba tersiksa jarak yang terus menerus menertawai kerinduanku.

Tapi beginilah hujan, tak selamanya tangis mampu melawan rindu. Tak seutuhnya rindu mampu menghapus jarak. Kenyataannya, jarak mampu mengikis perrhatian, jarak perlahan melumpuhkan rasa rindu hingga terakhir membekukan perasaan yang telah lama bertahan. Semua yang sempat bertahan lama dihati ini dibawah kesaksianmu tiga tahun yang lalu itu, sekarang seperti telah terhapus begitu saja. Sama seperti engkau menghapus segala kenangan yang masih menetap dihati.

Hujan, maukah kau tau? Bahwa hadirmu memberikan kisah tersendiri bagiku. Iya bagiku, atau mungkin juga bagi dirinya. Hadirmu pernah menjadi saksi bagaimana ikatan cintaku hingga akhirnya hadirmu juga menjadi penghapus puing kenangan yang masih tersisa dihati ini.

Hujan, bolehkah aku berterimakasih? Iya. Sekedar berterimakasih atas hadirmu yang lucu. Dari awal hingga akhir kisahku. Bahkan saat sekarang kau menemaniku, saat aku sekedar ingin menyapa masa-masa itu. terima kasih hujan. Setidaknya diantara milyaran rinaimu, aku punya lebih banyak makna kenangan dari sekedar menikmati tetesan air. Terima kasih Hujan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar