Apa
kabar hujan? Ah, ini pertama kalinya setelah setahun kau menghilang. Aku rindu
padamu. Sebagaimana rinduku pada seseorang yang bersembunyi dibalik jarak.
Masih ingatkah kau hujan? Saat engkau kujadikan saksi pertemuanku dengannya 3
tahun yang lalu. Rasanya mustahil semua itu terulang. Sudahlah. Sudah ku tutup
lembaran romansa itu.
Kedatanganmu
saat ini tepat sekali, Hujan. Mari temani aku. Aku sedang ingin flash back romansa kita 3 tahun yang
lalu. Ingatkah, saat pangeran yang mati-matian memaksaku menemuinya
ditengah-tengah rinaimu? Kebodohan yang sangat parah menurutku. Bagaimana bisa
ada seorang yang sebegitunya hendak mengajakku bertemu, padahal ia tahu aku
begini. Aku yang tak sempurna.
Entahlah,
Hujan. Mungkin kamupun menertawaiku saat itu. Seorang gadis yang penuh
kekurangan sedang melukis senyum ditengah kegaduhanmu bersama pangeran yang baru
ditemuinya pertama kali. Konyol sepertinya, namun cinta yang mulai menuyusup
dibalik kesejukan rintikmu, mampu membius kekonyolan itu.
Tak
banyak yang bisa kuceritakan lagi tentangnya. Kebaikannya, perhatiannya, aku
merasakan keistimewaan tersendiri saat bersamanya. Meski harus terus berdamai
dengan jarak yang berkilo-kilo meter, cinta yang terukir dibawah kesaksianmu
tak pernah terkikis. Terus menerus membelenggu, mengikat hati kami berdua.
Akupun tak pernah letih mencintainya, sebagaimana aku tak pernah letih menunggu
kedatanganmu meski hanya setahun sekali.
Kalau
kupikir-pikir, dia sama sepertimu Hujan. Datangnya lama, tapi perginya cepat. Menjalani
hubungan seperti ini tak semudah yang kebanyakan orang lain kira. Menjalani
hubungan seperti ini sama layaknya kamu harus sabar mengumpulkan
kristal-kristal air menjadi awan, lalu menjadi gumpalan awan, dan masih harus
bersabar lagi menunggu kawan-kawanmu seperti mendung, petir, dan pelangi hingga
akhirnya kau bisa tersenyum lepas menyentuh bumi. Akupun begitu, menghabiskan
hari dengan celengan rindu yang semakin penuh. Bersabar menanti tiba waktu yang
tepat tuk bersua. Kadang hanya berteman engkau dan kilau pelangi.
Kadang
pesan singkat darinya sedikit mengurangi kerinduanku. Dia berkata bahwa kita
berada jauh, namun kita tetap dapat menikmati riak hujan dalam keteduhan yang
sama. Menatap kilau pelangi pada lapisan langit yang sama. Akupun tersenyum larut
dalam pesan konyolnya itu. Aku tau, sedetikpun cintanya tak pernah berkurang
kepadaku. Kesetiaan dan kekuatannya melawan jarak yang semakin menantang
membuatku juga semakin bertahan disini. Membuatku merasa ingin terus membujuk
sang waktu untuk berputar berpuluh-puluh kali lebih cepat agar cepat bertemu
dengannya. Tak jarang rintikmu juga diikuti oleh rintik kecil disudut mataku.
Menangis, mengiba tersiksa jarak yang terus menerus menertawai kerinduanku.
Tapi
beginilah hujan, tak selamanya tangis mampu melawan rindu. Tak seutuhnya rindu
mampu menghapus jarak. Kenyataannya, jarak mampu mengikis perrhatian, jarak
perlahan melumpuhkan rasa rindu hingga terakhir membekukan perasaan yang telah
lama bertahan. Semua yang sempat bertahan lama dihati ini dibawah kesaksianmu
tiga tahun yang lalu itu, sekarang seperti telah terhapus begitu saja. Sama
seperti engkau menghapus segala kenangan yang masih menetap dihati.
Hujan,
maukah kau tau? Bahwa hadirmu memberikan kisah tersendiri bagiku. Iya bagiku,
atau mungkin juga bagi dirinya. Hadirmu pernah menjadi saksi bagaimana ikatan
cintaku hingga akhirnya hadirmu juga menjadi penghapus puing kenangan yang
masih tersisa dihati ini.
Hujan,
bolehkah aku berterimakasih? Iya. Sekedar berterimakasih atas hadirmu yang
lucu. Dari awal hingga akhir kisahku. Bahkan saat sekarang kau menemaniku, saat
aku sekedar ingin menyapa masa-masa itu. terima kasih hujan. Setidaknya
diantara milyaran rinaimu, aku punya lebih banyak makna kenangan dari sekedar
menikmati tetesan air. Terima kasih Hujan :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar